Tionghoa Katolik di Kalideres: Antara Tradisi dan Iman Kepercayaan

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

 

Orang-orang Tionghoa dikenal sebagai orang-orang yang gigih dan pantang menyerah pada keadaan hidup.  Mereka berani meninggalkan tanah kelahirannya untuk merantau dan mengembara hingga ke ujung dunia demi mendapatkan hidup yang lebih baik lagi.  Hal ini terbukti dengan tersebarnya orang-orang Tionghoa ke seluruh dunia.  Di seluruh benua, di semua negara, di setiap kota bahkan di pelosok-pelosok daerah yang sulit dijangkau, hampir pasti ada ditemukan orang Tionghoa.  Untuk Indonesia, orang Tionghoa betul-betul tersebar dari Sabang sampai Merauke.  Bahkan di bekas wilayah Indonesia, Timor Timur, orang Tionghoa pun banyak terdapat. 

Orang Tionghoa mempunyai banyak adat dan tradisi yang diwariskan turun-temurun dari para leluhur mereka.  Dari tata kehidupan rumah tangga, interaksi dengan sesama, hingga hubungan keluarga besar yang erat.  Sejarah kebudayaan Negeri Tirai Bambu yang ada sejak zaman dahulu kala juga membuat begitu banyak pengaruh pada diri manusia Tionghoa yang bangga menyebut dirinya sebagai “anak-anak naga”.  Hal ini menjadikan keberadaan orang Tionghoa di mana pun mereka menetap sebagai sebuah fenomena tersendiri. 

Dengan melihat sedikit fakta yang dikemukakan di atas, keberadaan orang Tionghoa di suatu tempat tentu akan membawa “pengaruh” terhadap lingkungan sekitarnya.  Begitu juga dengan Kalideres.  Kalau dahulu Kalideres merupakan Kawasan yang belum padat penduduknya, maka hanya dalam kurun waktu 40 tahunan, daerah Kalideres telah berubah menjadi daerah yang sarat bangunan pemukiman.  Yang bermukim di Kalideres sejak dahulu hingga sekarang kebanyakan pendatang dari daerah maupun keluarga muda yang baru menikah yang kebanyakan adalah keturunan Tionghoa.  

Adalah sulit untuk mengemukakan semua aspek orang Tionghoa dalam tulisan ini.  Maka dengan pertimbangan yang serius, tulisan ini hanya ingin mengangkat tentang ke-Tionghoa-an dan ke-Katolik-an para keturunan Tionghoa ini.  Tradisi Tionghoa begitu kaya dan beragam.  Secara tradisi, orang-orang Tionghoa menjalankan ritual kepercayaan warisan para leluhurnya.  Bagaimana dengan mereka yang sekarang memeluk agama Katolik?  Adakah kendalanya?  Berbenturankah dengan tradisi-tradisi yang masih dipegang teguh mereka? 

Iseng-iseng bertanya-jawab dengan beberapa orang Tionghoa Katolik umat Paroki Sta. Maria Imakulata – Kalideres yang ditemukan secara acak, 2 pertanyaan diajukan kepada mereka, yaitu tentang adat dan tradisi Tionghoa yang masih mereka pegang dan tentang iman Katolik mereka: 

Seorang remaja putri mengaku sudah tidak lagi terikat adat dan tradisi Tionghoa karena kedua orangtuanya pun sudah tidak lagi menjalankan hal yang sama.  Bahkan saat diminta untuk menyebutkan satu saja adat atau tradisi Tionghoa yang diketahuinya, si remaja putri hanya meringis dan menggelengkan kepalanya.  Seorang Kakek mengaku, “Masih ikut merayakan Tahun Baru Imlek, tapi tidak sembahyang lagi, kan sudah masuk Gereja.”  Seorang ayah yang menggendong anak balita mengatakan bahwa ia memang banyak diberitahu adat dan tradisi Tionghoa oleh kedua orangtuanya, “tapi sudah tidak terlalu dipegang lagi sih… zaman sudah modern, kita hidup ikut perkembangan zaman lah….”  Seorang Ibu tengah baya mengatakan: “Ibu saya banyak memberikan didikan adat dan tradisi Tionghoa kepada saya.  Terutama tentang penanganan dan pekerjaan rumah tangga.  Dulu saya merasa hal-hal demikian terlalu mengikat saya, terlalu membuat saya menjadi wanita rumahan.  Sekarang saya baru merasakan untungnya.  Bahwa adat dan tradisi patut terus dipelihara dan diturunkan kepada generasi penerus.  Hal-hal yang berasal dari zaman dahulu belum tentu jelek dan ketinggalan zaman, bukan?!” Seorang Ibu lansia berkata, “Saya masih sembahyang, bolehkah?  Soalnya semua keluarga saya tidak ada yang Katolik, jadi saya harus ikut sembahyang leluhur juga bersama keluarga besar.” 

Bagaimana dengan keimanan mereka?  Si Kakek mengatakan: “Saya masuk Katolik karena disuruh anak saya.”  Si remaja putri menjawab: “Saya dibaptis sewaktu masih bayi, sekarang Mami selalu minta saya aktif di kegiatan Gereja.”  Ayah yang menggendong anak balita berujar bahwa ia belajar agama di sekolahnya, lalu dibaptis lebih dahulu dari kedua orangtuanya.  Ibu tengah baya menuturkan ia dibaptis sewaktu masih SMA atas kemauannya sendiri dan mendapat persetujuan dari kedua orangtuanya.  Ibu lansia berkata bahwa ia menjadi Katolik karena “ikut anak-anak saja.  Semua anak saya Katolik, suami sudah meninggal, ya sudah, saya ikut jadi Katolik, bisa ke gereja sama anak, menantu, dan cucu.” 

Antara adat tradisi dan keimanan memang sering berbenturan.  Pilih yang mana?  Biasakah keduanya dikompromikan dan diambil jalan tengahnya?  Kalau bisa, jalan tengah yang bagaimana yang harus diambil?  

Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan sedikit gambaran dan pencerahan bahwa adat dan tradisi yang kitab awa dalam diri kita tidak perlu serta-merta dihilangkan begitu saja pada saat kita menetapkan diri untuk memeluk suatu agama.  Betapa beruntung dan berbahagianya kita sebagai anggota Gereja Katolik, karena Gereja kita menaruh penghormatan yang tinggi akan nilai-nilai budaya, adat, dan tradisi manusia.  Gereja menganggap itu semua sebagai karya agung Tuhan, sebagai kekayaan Gereja yang tak ternilai.  (Tim Website SMI) 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share This