Saya Tionghoa, Saya Katolik 

 

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Saya seorang keturunan Tionghoa, lahir dan besar di Indonesia dari orangtua yang asli datang dari daratan Tiongkok.  Semenjak kecil, orangtua sudah mengajarkan bermacam tradisi Tionghoa yang diwariskan turun-temurun sejak leluhur kami.  Sebagai anak sulung, laki-laki pula, saya menjadi tumpuan harapan orangtua untuk meneruskan marga, nama baik keluarga, dan tradisi yang berjalan dalam keluarga.  Secara otomatis, saya juga menjalankan tradisi kepercayaan Tionghoa, ajaran Konghucu.  Orangtua pun taat menjalankan ajaran ini, bersembahyang kepada leluhur pada saat dan waktu tertentu tidak pernah absen.  Tradisi Tionghoa memang kental berjalan dalam keluarga saya.  Bahkan orangtua pun menggunakan Bahasa Tionghoa untuk berbicara sehari-hari dengan anak-anaknya. 

 

Saya termasuk beruntung karena orangtua mampu menyekolahkan saya hingga jenjang tinggi.  Di kota tempat saya dibesarkan, tidak banyak sekolah yang menjadi pilihan, tapi ada satu sekolah Katolik yang cukup punya nama.  Sejak SD hingga SMA saya bersekolah di sekolah ini.  Mungkin karena lingkungan sekolah yang sangat Katolik, maka saya mulai melirik dan membandingkan antara ajaran Konghucu dan agama Katolik.  Dari hal-hal kecil inilah, kemudian ada niat saya untuk menjadi Katolik, apalagi saya melihat begitu banyak teman-teman sekolah yang keturunan Tionghoa juga memeluk agama Katolik.  Diam-diam saya sering ikut keluarga teman saya pergi ke gereja. 

 

Suatu kali, saya coba berbicara dnegan orangtua tentang keinginan saya untuk menjadi Katolik.  Di luar dugaan, orangtua marah besar.  Mereka tidak setuju sama sekali, mengingat saya adalah anak laki-laki dan sulung yang harus meneruskan tradisi keluarga.  Saya cukup terpukul, tapi demi untuk menyenangkan hati orangtua, maka keinginan hati saya kubur dalam-dalam. 

 

Waktu berlalu, saya pun berkeluarga dan tetap menjalani ajaran Konghucu.  Ayah telah berpulang, Ibu masih sehat dan kuat.  Istri saya juga menganut paham Konghucu, rajin bersembahyang dan banyak meneruskan tradisi keluarga saya.  Dia memang menantu kesayangan Ibu.  Sebetulnya, saya masih terus menyimpan keinginan hati untuk menjadi Katolik.  Ke gereja masih saya jalani, walau tidak setiap miggu.  Dengan alasan ingin ketemu teman, saya pamit kepada istri untuk ketemu Tuhan Yesus, “Teman” saya.  Saya bersyukur juga karena ternyata banyak umat Katolik di daerah tempat saya tinggal, sehingga saya bisa mengenal mereka dan sesekali bertemu mereka juga di gereja. 

 

Singkat cerita, setelah Ibu saya berpulang, saya memberanikan diri untuk berbicara dengan istri saya.  Saya ingin dibaptis Katolik.  Istri saya tidak marah.  Ia menyerahkan sepenuhnya kepada saya, bahkan ia juga mau ikut menjadi Katolik, kalau saya menginginkannya.  Dengan gembira dan penuh syukur saya kemukakan hal ini kepada Romo Paroki yang sering menjadi tempat konsultasi saya selama ini.  Romo menyambut gembira dan meminta saya untuk mulai ikut bimbingan baptisan.  Selama mengikuti bimbingan, saya mulai rajin ikut pertemuan di Lingkungan dan kenal dengan banyak saudara seiman. 

 

Tak terasa, sudah 20 tahun lebih saya dan keluarga menjadi Katolik.  Apakah saya masih menjalankan tradisi Tionghoa?  Saya jawab: “Masih”.  Tidak bertolak belakangkah dengan iman saya? Saya jawab: “Tidak”.  Dalam perjalanan pencarian saya yang panjang, saya boleh katakana bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang sungguh menghormati tradisi dan budaya manusia.  Tradisi dan budaya tidak serta-merta dibuang dan dikatakan “haram”, tapi Gereja Katolik memberikan ruang dan tempat untuk melestarikan budaya dan tradisi sesuai dengan iman Katolik. 

 

Mengapa saya memilih Katolik?  Sejak bersekolah di sekolah Katolik, saya begitu tersentuh dengan keramahan dan kerendah-hatian orang-orang Katolik yang saya temui.  Mereka semua begitu sederhana, tidak suka pamer, bersahabat, toleransi, dan rasa sosialnya sungguh tinggi. 

 

Semasa sekolah dulu, saya sudah memiliki Kitab Suci yang saya beli dengan alasan kepada orangtua sebagai “ada pelajaran Kitab Suci di sekolah”.  Maka mau tak mau orangtua membelikannya untuk saya.  Dari membaca bagian-bagian Kitab Suci, saya menemukan banyak hal yang tidak jauh berbeda dengan yang diajarkan orangtua kepada saya, seperti kebajikan, saling menghormati, tidak cari ribut tapi membawa damai, hormat dan sayang kepada orangtua maupun orang yang lebih tua dari saya, hidup dalam persaudaraan, berlaku adil, punya rasa sosial, berbagi rejeki, menolong yang berkesusahan, dan lain sebagainya. 

Saya tidak memungkiri diri sebagai seorang keturunan Tionghoa.  Saya bangga dengan keberasalan saya.  Saya tetap menjadi orang Tionghoa dengan warisan adat dan tradisi yang terus saya turunkan kepada anak-anak dan sekarang kepada cucu-cucu saya sesuai dengan iman keyakinan saya sebagai seorang Katolik.   

 

(Disusun dari cerita seorang narasumber kepada Tim Website SMI) 

 

Share This